Selasa, 07 Januari 2025

Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Penghabisan


"Expresif!"
Foto Close-up dalam Hitam-Putih

Kediri, Tabanan, Bali, Selasa, 7 Januari 2025

(Ditulis di Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali Selatan, masih di awal bulan Januari di tahun 2025, dan ternyata di Bali masih ditengah musim penghujan)

Artikel ini adalah sambungan dari artikel yang telah saya tulis sebelumnya, yang masih bertutur tentang kisah seorang yang dahulu kala cukup berjaya, seorang yang dulunya multi talenta, yang punya judul: "Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Keempat". Dan ini adalah artikel kelanjutannya, silahkan disimak:

Om Tustel tersenyum, "Tahu juga, cuma Oom tidak ambil pusing. Oom kira sandiwara tipi bakal ada saja dan tante-tante bakal banyak terus. Atau aka nada aja orang-orang yang bakal minta dipotoin sama Om. Waktu itu rasanya semua bakal beres saja. Begitu Oom diajak show keliling Sumatera dan Jawa, berebut orang pengen kenal sama Oom. Di seluruh daerah yang Oom sambangin, tidak ada yang kosong dari pacar-pacaran. Sudah jangan dibilang kalau di Jakarta. Siapa nyang berani marah, dia boleh terima Oom punya tangan. Tidak ada yang berani angkat muka kalau Oom sudah menjerit. Sampe sutradara nangis-nangis waktu Oom pura-pura bilang minta berhenti...."

"Wah, serem betul."

"Bukan maen serem-nya, maka itu Oom jadi sok tahu. Pernah sekali si Parjo, satpam studio mau coba-coba kasih nasihat Oom, supaya Oom hemat sama duit dan segala macam. Lima hari pipinya bengkak karena Oom gampar. Yang sedih kalau diingat sekarang si Peang. Nama sebenarnya Rudi Darmawan, tapi karena kepalanya peang, Oom panggil saja dia si Peang. Dia cuma pemain figuran, mana berani marah kalau Oom panggil si Peang. Dia sudah ada umur, anaknya tiga. Dia nasihati Oom belajar pegang buku, administrasi atau.... Belum habis dia bicara, Oom punya tangan sudah melayang, kontan dia jatuh tersungkur. Anaknya liat bapaknya Oom gampar nangis kejer. Ah, sedih betul kalau ingat itu. Enggak, enggak ada yang berani kasih nasihat sama Oom. Dibiarin saja Oom tetap dongo. Jangan lagi bahasa Inggris, ngaji saja Oom nggak becus. Bahasa Inggris nyang Oom bisa sedikit-sedikit, Oom dapat dari pergaulan saja. Di panggung waktu itu yang lazim adalah English language. So, now the time has come... and my glory is over. Now as you see, I'm sitting here before you, nothing and hopeless."

Bersama dalam batas Senja!
Fotografi Siluet

"Sayang sekali, Oom, ya. Orang-orang sekarang tidak mau pakai jasa Oom lagi."

"Tidak! Tidak ada nyang bisa Oom salahkan. Cuma Oom sendiri nyang salah. It's all because Oom sok tahu... sok tahu, sok keren. Lupa daratan."

"Seperti pemuda-pemuda sekarang juga, ya Oom, sok tahu!" sambut saya dengan maksud menyenangkan hatinya.

"Ya!" jawabnya kontan. Matanya melirik ke cangkir kopi, lalu sambungnya, "Yaaa..., tidak semua pemuda sekarang sok tahu...."

"Saya tidak mau sok tahu, Oom."

"Jangan! And you kelihatannya memang tidak sok tahu...."

Saya sodorkan rokok kepadanya. Saya bayar empat cangkir kopi Oom Tustel dan dua cangkir kopi saya, semua seharga tiga puluh ribu. Pak Tustel mengucapkan banyak terimakasih. Saya sodorkan sebatang lagi buat persediaan nanti sekaligus saya pesankan kopi hitam satu cangkir lagi untuknya, lalu kami pun berpisah.

Gadis dan sebotol Cola
"Candid Photography"

Catatan Sambil Lalu


Tustel 

Setelah diduduki Belanda selama kurang lebih 3,5 abad (walaupun ini masih diragukan), banyak sekali kosa kata dalam bahasa Belanda yang diserap dalam bahasa Indonesia. Salah satu yang paling umum adalah kata tustel, yang diserap dari kata toestel dalam bahasa Belanda (walaupun kata “tustel” saat ini sudah tak pernah lagi terdengar, kecuali diucapkan oleh orang-orang yang lahir di era 60-an atau 70-an). Pada masanya, tustel sering kali digunakan untuk merujuk pada benda berupa kamera.

Dalam KBBI, kata “tustel” akan diidentikkan dengan kata “kamera”, di mana keduanya diartikan sebagai “alat potret”. Namun, perlu dipahami, bahwa ternyata tustel dan kamera memiliki makna berbeda karena sesungguhnya tustel mengacu pada keseluruhan perangkat kamera, mulai dari body lensa, lensa, blitz, dan komponen-komponen lainnya.

Nopek ceng

Kata "nopek ceng" berarti uang senilai 200 ribu rupiah.
Istilah-istilah seperti "nopek ceng" merupakan bahasa gaul untuk menyebut nominal uang yang berasal dari bahasa Mandarin. Istilah ini awalnya digunakan oleh masyarakat keturunan Tionghoa berdialek Hokkian, namun lambat laun kata-kata mandarin ini mulai diserap oleh orang-orang di perkotaan (terutama di Jakarta) karena dianggap sebagai symbol dari “gaul” alias symbol anak muda atau symbol pebisnis pada era 70-an sampai dengan 90-an. Saat ini kata-kata ini sudah mulai jarang digunakan.

Tipi

“Tipi” berasal dari singkatan “TV”  yang dilafalkan dalam Bahasa Inggris menjadi “ti-vi”, TV adalah singkatan dari television. Pada awalnya orang-orang masih melafalkan singkatan “TV” ini dengan lafal “ti-vi”, namun lambat laun pengucapannya menjadi “ti-pi”. Pada era 70-an sampai dengan sebelum era internet, siaran televisi menjadi hiburan terfavorit, Dimana bermacam-macam siaran hiburan memiliki jumlah penonton yang banyak. Saat ini TV tetap menjadi hiburan yang diminati, walaupun tidak sehebat pada era 70-an sampai 2000 awal. 

Schouwburg (Gedung kesenian Jakarta)

Gedung Kesenian Jakarta adalah bangunan tua peninggalan bersejarah pemerintah Belanda yang hingga sekarang masih berdiri kokoh di Jakarta. Terletak di Jalan Gedung Kesenian No. 1 Jakarta Pusat. Gedung tersebut merupakan tempat para seniman dari seluruh Nusantara mempertunjukkan hasil kreasi seninya, seperti drama, teater, film, sastra, dan lain sebagainya. Gedung ini memiliki gaya arsitektur neo-renaisans yang dibangun tahun 1821 di Weltevreden yang saat itu dikenal dengan nama Theater Schouwburg Weltevreden, juga disebut dengan Gedung Komedi. 

Hingga sekarang gedung ini tetap menyajikan berbagai kegiatan kesenian, walaupun kebanyakan adalah kesenian yang “berat” dan klasik.

Demikianlah Sobat jepret semuanya, tulisan alias artikel yang saya tulis dan saya sajikan dalam lima bagian, yang bercerita tentang ironi kehidupan seorang fotografer sekaligus aktor serba bisa yang sangat terkenal pada jaman-nya. Semoga Sobat Jepret dimanapun bisa terhibur dengan artikel-artikel tersebut.

Tetap sehat, tetap semangat!

Salam Jepret Selalu!

Artikel ini diadaptasi dan ditulis oleh: Tuntas Trisunu

Sabtu, 07 Desember 2024

Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Keempat


Tersenyum !
Human Interest Photography
trisoenoe.com

Kediri, Tabanan, Bali, Sabtu, 7 Desember 2024

(Ditulis di Tabanan, Bali Selatan, masih di awal bulan Desember, dan masih ditengah musim penghujan. Hari ini berbeda dibanding minggu lalu. Hari ini selain kopi hitam dan rokok, ada sepiring gorengan yang menemani saya saat menulis cerita ini)

Artikel ini adalah sambungan dari artikel yang telah diunggah sebelumnya, yang masih bercerita tentang kisah seorang yang dahulu kala cukup berjaya, seorang yang dulunya multi talenta, yang punya judul: "Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Ketiga". Dan ini adalah artikel kelanjutannya, silahkan disimak:

Sambil cerita, Oom Tustel menghirup kopinya, setelah itu Saya sodorkan rokok lagi. Sambil tersenyum dia ambil rokok yang saya sodorkan, lalu dibakar, kemudian dihirupnya dalam-dalam. Belum pernah saya lihat orang bisa menghirup asap rokok  sedemikian nikmat seperti itu.

"Bukan Cuma itu, Oom juga jempolan kalo urusan motret orang ...?" Mata Oom Tustel melirik pada kamera saya, saya sodorkan. "Ya, Oom bukannya mau sombong, tapi emang om punya bakat alami untuk urusan motret. Semua nyang Oom poto, hasilnya pasti bisa lebih keren dari aslinya...."

“Kalo boleh sombong, cuma satu dua fotografer nyang bisa ngalahin hasil jepretan Oom. Nggak kehitung banyaknya artis yang antri cuma buat Oom poto. Bahkan ada artis perempuan, nyang ngebet banget minta dipoto sama Oom, sampe nguber-nguber kemane aje Oom pergi, siang malem. Lama-lama oom risih juga, terus Oom iyain..." Oom Tustel mulai menerawang lagi, sambil dimainkan rokok pemberian saya, diputar-putar di jari. "Waktu itu kita ke puncak, Oom dijemput sama dia. Setelah poto, kita nggak langsung pulang, tapi pelesir dulu, dia bayarin semua. Dan bukan cuma pelesiran…..kita juga nginep sampe dua hari di puncak…..Yaaahhh….you tau lah kira-kira ngapain aja kalo orang nginep bareng.”  Om Tustel mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh. Sumpah….nggak bisa kebayang di fikiran saya kalo melihat potongan si Oom sekarang.

Bunga !
Close up & Beauty Photography
trisoenoe.com

“Pas sudah balik ke Jakarta, cepat-cepat Om cuci dan afdruk poto-poto nyang menurut Om bagus. Om afdruk ke ukuran besar, dan nggak lupa Om kasih pigura. Malamnya, Om antar ke rumah dia, tentu saja om bungkus pake kertas kado biar kelihatan berkelas.”

“Pas dia lihat hasil jepretan Om, dia seneng nggak kira-kira, sampe loncat-loncat kaya orang gila. Bukan cuma itu, om kasih juga hasil afdruk sama klise semuanya, biar dia bisa pilih-pilih mana nyang dia mau afdruk lagi.”

“Terus…?” Tanya saya penasaran.

“Yah…..Itu dia. Dia kasih banyak uang buat hasil kerja Om itu. Nggak maen-maen jumlahnya, bisa buat beli motor dua…….” 

Sejurus kemudian Pak Tustel tersenyum, dihirupnya kopinya sedikit sekali, takut habis. Kemudian dia seperti menyadari sesuatu, kemudian menunduk.

"Ke mana saja semua harta itu, Oom?" tanya saya setelah sesaat ia menunduk terdiam.

Sambil membenarkan letak leher kemejanya yang sudah pecah-pecah dan kusam karena lama dipakai, Om Tustel mengangkat muka sambil senyum kecil, suaranya rendah, "Habis..., habis..., gone! Hilang bersama Oom punya kejayaan."

"Habis bagaimana saja begitu banyak?"

"Ya..., macam-macam.... Minum, main, pelesir....

Barangkali memang sudah musti begini jadinya...."

"Tapi kalau Oom belikan kebun, sawah, bikin kontrakan atau...."

"Sekarang ini Oom baru tahu memang bagusnya kalau harta itu dikasih belanja yang ada faedah!"

"Waktu itu Oom tidak tahu?"

Bersambung ke bagian kelima dengan judul: “Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Kelima”, semoga Sobat bisa ada suka saat membacanya.

Minggu, 01 Desember 2024

Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Ketiga


Pedagang Kaki Lima
HI & Street Photography
trisoenoe.com

Kediri, Tabanan, Bali, Minggu, 1 Desember 2024

(Ditulis di Tabanan, Bali Selatan, pada awal bulan Desember, tepat ditengah musim penghujan. Segelas kopi hitam dan sebatang rokok adalah sahabat terbaik disaat menikmati hujan)

Artikel ini adalah sambungan dari artikel yang telah diunggah sebelumnya, yang bertutur tentang kisah seorang yang dahulu kala cukup berjaya, seorang yang dulunya multi talenta, yang punya judul: "Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Kedua". Dan ini adalah artikel kelanjutannya, silahkan disimak:

Mata Om tustel berpindah ke tempat lain, senyumnya mengambang, sedang mulai terbawa dalam lamunan. Saya sempat memperhatikan bahwa matanya sekarang tampak terlalu sipit, ini adalah karena ujung-ujung alisnya telah berlipat jatuh. Dia senyum lebih lebar sambil melirik saya. "Kasihan kalau dipikir-pikir nasib itu nona-nona. Saban sore banyak saja yang hilir-mudik di depan lobby studio TVRI. Padahal tidak mungkin dia bakal bisa ketemu kita. Bukan macam bintang-bintang sekarang, kita orang nggak kena nongol sembarangan. Kita sendiri bisa lihat dia. Tapi yang penting kalau sudah duduk dalam korsi penonton di dalam Studio. Waktu pertunjukan baru dimulai, baru lagu-lagu pembuka atau pembawa acara, lampu di tempat penonton masih menyala, kita ngintip. Kita bisa lihat siapa-siapa yang nonton di sebelah kiri depan, duduk si nona cantik diapit sama temannya, barangkali di deret tiga dari muka ada nona yang boleh juga, dan itu sebelah kanan ada tiga korsi kosong yang di tengah-tengahnya duduk seorang tante bersama suster, itulah tante kaya; barangkali suaminya penggede di instansi, bedak tebel dan gincunya menor, gelang emasnya segede-gede selang air. Kalau sudah ketahuan begitu, beres sudah. Kalau nanti kita muncul di panggung, jangan lupa lemparkan lirikan dan senyuman ke korsi-korsi yang sudah kita incer tadi. Waktu kita nyanyi sendirian, umpamanya pas ditengah adegan yang cuma Om aja yang kelihatan, Om bakal tampil maksimal sambil kasih lirik isyarat sama senyum ke sasaran.

"Penonton di korsi studio bakal teriak-teriak. Jatuhkan lirikan sembari sedikit senyum pada si nona-nona manis. Cukup. Pas sandiwaranya bubar, Om bakal terima banyak kabar dari temen-temen pemain figuran. Ada nyang bilang Om ditunggu mobil di belakang. Ada nyang minta supaya difotoin sama Oom malem itu juga. Foto apa malam-malam begitu? Ada yang minta Oom kasih jenguk seorang gadis yang mendadak jatuh sakit. Yah, sudah Oom ceritakan bagaimana selanjutnya sama you. Susah, bisa you bayangkan apa kejadian selewatnya bubar pertunjukan".

Ekspresif !
Portrait & Soft Photography
trisoenoe.com

"Cukup barangkali kalau Om kasih tahu, waktu itu Om punya tiga rumah, sepeda motor tiga dan mobil dua. Om punya dua puluh kotak beludru yang masing-masing isinya  lima puluh gram emas batangan, dua tabungan yang bisa bakal beli empat rumah, cincin emas enggak tahu berapa banyak, selosin gelang emas, jam emas, dan tustel kelas wahid, ada kali lima belas biji. Semua Om dapat dari tante-tante yang manis.... Ada pantun lagu nyang bunyinya begini: 

Muara Angke bukan Kerawang
Carilah tante nyang banyak uang.

"Tapi bukan maksud Om mau ngeret mereka. Orang ngeret nanti ketiban sial! Itu tante-tante yang berebutan datang. Kita sih namanya juga seniman, perlu dapat simpati penggemar. Salah dia sendiri kalau fall in love sama Oom, betul enggak? Kalau Om enggak terima, gimana? Malah ada nyang bilang dia mau bunuh diri. Belum ada yang sampe kejadian bunuh diri, tapi lebih beres kan memang kalau Om terima saja, betul enggak? Walhasil Om punya harta Nyang nggak maen-maen banyaknya."

Bersambung ke bagian keempat dengan judul: “Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Keempat”, semoga Sobat bisa banyak senang saat membacanya.

Sabtu, 23 November 2024

Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Kedua


Pedagang Buah
Street Photography & Candid
trisoenoe.com

Kediri, Tabanan, Bali, Sabtu, 23 November 2024

(Ditulis di Bali Selatan, menjelang berakhirnya bulan November, dan masih ditemani dengan rokok dan kopi hitam)

Artikel ini adalah sambungan dari artikel yang sudah saya unggah sebelumnya, yang bercerita mengenai kisah seorang yang dahulu kala cukup berjaya, seorang yang dulunya multi talenta, yang punya judul: "Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Pertama". Dan ini adalah artikel kelanjutannya, silahkan disimak:

"Masa semua sandiwara pakai nyanyi segala, Oom?" 

"Namanya juga lagi naek daun, jadi Om banyak tingkah. Kadang kesian juga kalo diingat, pemain-pemain lain pada kebingungan karena Om nyanyi di tengah-tengah adegan, dan itu bener-bener nggak ada dalam naskah. Kalo nyang pinter biasanya bisa langsung nimpalin atau ikutan nyanyi. Tapi kalo emang pas Oom dapet lawan maen nyang bloon, baru kacau jadinya. Pemain nyang bloon itu biasanya langsung pucat, apalan dialognya bisa langsung buyar, dan kalo emang anaknya culun, biasanya langsung nangis dan kaga mau maen sama Om lagi. Dan Oom punya suara...?" Mata Oom Tustel melirik pada kopinya yang hampir habis, saya acungkan dua jari ke mas Bejo, pesan kopi lagi dua cangkir. "Ya, Oom punya suara, kalau Oom sudah tarik, itu schowburg atawa Gedung Kesenian sekarang disambung tiga ke belakang, Oom punya suara masih kedengaran. Zonder mikrofon...."

"Itu nyanyi atau gimana, Oom?"

"Ya, nyanyi! Ooo, orang nyanyi waktu itu bukan kayak sekarang sekadar gerendengan macam orang kena asma. Yaaa, barangkali you belum pernah dengar pavaroti atawa Andrea Bocelli...."

"Pernah, pernah." jawab saya yang segera teringat lagunya, "Ada di youtube, Oom."

"Nah, begitulah suara Oom, ya, kira-kira begitu deh, maklum kita bukan orang Eropa."

"Hebat benar, Oom," kata saya sambil bantu menyodorkan kopi yang baru datang lagi. Om Tustel menerimanya sambil senyum, menggeser duduknya sedikit.

Perempuan dalam Gaun Merah
Soft & Beauty Photography
trisoenoe.com

"Dalam sandiwara 'Anak jalanan', Oom main jadi Ali Topan, si jagoan. Waktu merayu Anna, Oom ambil lagu My Love. Layar dibuka, Anna lagi ngelamun di pinggir taman. Abis dua-tiga patah Anna bicara, lantas terdengar musik permulaan dari lagu yang bakal Oom bawakan, mendayu-dayu. Buat bikin beres tukang musik saja Oom keluarkan uang lima ribu perak!"

"Buat apa musti di-beresin?"

"Oho, dia bisa bikin kita benjol! Sedikit saja dia kasih tinggi toon kita, kan kita bisa mendelik, bisa putus tenggorokan. Setengah menit musik maen, Oom tarik suara dari belakang layar, orang tepuk tangan. Oom belum kelihatan, tuh! Oom biarkan dulu penonton di studio celingukan mencari dari mana Oom bakal keluar. Sebelum muncul, Oom intip dulu keadaan penonton dari sisi-sisi layar latar. Oom perlu cari tahu di mana duduknya itu tante-tante serta nona-nona manis. Klaar, Oom pun keluarlah sambil menyanyi, mengangguk sedikit, gegap-gempita tepuk-tangan serta sorakan. Anna belum kita perhatikan dulu. Dia boleh tunggu! Selepas beres, Oom kasi anggukan serta sedikit senyum buat si nona-nona manis yang sudah Oom incer dari belakang layar, baru Oom membalik dan nyanyi buat Anna. 

"Aduuuh, asyik betul, Oom," sela saya sambil menyodorkan lagi rokok karena dia payah betul melinting rokoknya. Sopan sekali dia cabut sebatang.

"Tapi you musti lihat gimana besoknya," katanya lebih gairah, setelah ia menyedot rokoknya dalam-dalam. "Kita orang mabuk samasekali."

"Bir?"

"Ah, bir minuman orang perempuan. Kita tidak kenal bir. Vodka, Whisky, Cognag, itu baru namanya mimuman. O, God, what a pleasure life." Dihirupnya kopinya sedikit.

"Kenapa bukan dipakai buat jalan-jalan sama si nona manis saja?" tanya saya sementara ia sedang mengedip- ngedip menikmati kopinya.

"Hooo, jalan-jalan sama nona manis bukan kita yang keluar uang. Dia orang yang berebut mentraktir Oom. Apa lagi sama tante istri penggede, itu istri-istri yang suaminya penggede di perusahaan negara, ditanggung beres semua. Yaaa!" Om Tustel mengangguk-angguk meyakinkan, mungkin dia melihat bahwa saya kurang yakin. Saya mengangguk, ia tersenyum. 

Bersambung ke bagian ketiga dengan judul: “Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Ketiga”, semoga Sobat bisa banyak senang saat membacanya.

Senin, 18 November 2024

Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Pertama


Penjahit Kaki Lima
Human Interest & Candid Photography
trisoenoe.com


Kediri, Tabanan, Bali, Senin, 18 November 2024

(Artikel ini ditulis di Bali Selatan, di awal musim hujan di pertengahan bulan November. Artikel ini terinspirasi dari kisah nyata yang saya alami namun saya rubah sana-sini supaya enak dibaca)

"Nopek ceng pada tahun delapan puluhan adalah upah seorang pegawai toko yang baik buat dia punya pekerjaan, sebulan suntuk, nggak pake males- males. Dengan itu gaji dia sekeluarga bisa hidup aman dan tenteram. Tetapi buat Oom, itu nopek ceng adalah ongkos satu sesi foto atawe satu kali masuk tipi," kata seorang tua yang mukanya penuh kerut-merut dan berhiaskan kumis dan jenggot kasar yang tidak terurus. Bapak tua ini adalah Pak tustel (bukan nama asli ya Sob! Nama aslinya saya rahasiakan saja, takut kena pasal!), fotografer kelas atas sekaligus pemain teater yang sangat kondong di era 80-an, yang tersohor dengan julukan Tom Cruise nya Indonesia. Siang itu ia sedang saya traktir minum kopi di warung kopi mas Bejo langganan saya.

"Bisa you bayangkan bagaimana keadaan Oom waktu itu?" tanyanya kemudian sambil menyeringai, sehingga semakin banyak kerut-kerut muncul di mukanya. Sumpah, saya jadi ngeri liatnya.

"Tentu waktu itu Oom masih muda," jawab saya gugup tak karuan.

"Ya, yaaa tentu saja! It was sekian puluh tahun nyang lewat! Oom punya badan sedang bagus-bagusnya, Oom rawat dengan baik. Sudah begitu saban hari paling sedikit di kantong ada uang dua ratus ribu. Now, bisa you bayangin gimana dahsyatnya?" Pak Tustel tertawa kecil, saya juga ikut tertawa.

"Perempuan mana yang enggak jadi tergila-gila? Coba Oom nompang nanya?" tanyanya sambil menyodorkan mukanya ke arah saya.

Saya jadi kaget, tetapi segera dapat saya tutupi dengan menyodorkan rokok kepadanya.

"Ooo, ooo.... terimakasih, terimakasih...."

Disundutnya rokok itu dan diisapnya dalam-dalam seperti orang sedang minum bir.

"Sekarang Oom jarang isap rokok putih, berat harganya. Dulu rokok Oom Marlboro. Cuma orang-orang kokay saja yang sanggup beli rokok seperti itu. Sedangkan buat Oom, kalau Oom mau mengisap sepuluh bungkus sehari, itu baru berarti kira-kira sepersepuluh Oom punya salary, enteng sekali."

Diisap lagi rokoknya, asyik betul.

Perempuan dan Senja
Siluet & Soft Photography
trisoenoe.com

"Sore-sore kalau Om ada libur atau senggang, Oom suka jalan-jalan ke tempat anak-anak muda nongkrong Di Blok-M atau di Melawai. Oom pake celana jeans ori, pake kaos dan kemeja flannel ori juga. Tangan kiri pegang tustel, tangan kanan pegang rokok atawe kaleng greendsand. Kacamata hitam merk Rayband selalu ada di kepala. Sepatu Adidas atau Kasogi ori juga selalu om pakai. 

Kaki melangkah tenang-tenang. Mata tetap memandang ke depan saja, tapi Oom bisa pastikan nyang semua mata anak gadis tertuju sama Oom semua. 'Keren banget... Kece banget...,' kata orang-orang dari kiri-kanan.... Hi... hi..., kayak bintang film kondang rasanya."

Sebetulnya Pak Tustel akan ketawa lebih asyik lagi, tetapi tertahan batuk-batuk kecil karena terlalu semangat bicara. Dihirupnya kopinya sedikit sekali, takut habis.

"Kenapa Oom digelari Tom Cruise nya Jakarta?" tanya saya sambil memberi isyarat pada mas Bejo, minta secangkir kopi lagi.

"O, ooo, ha... ha... ha... ya, aduuuh. Ha... ha, ya, Tom Cruise.... Bukan Jakarta, tapi Indonesia." Dia habiskan dulu ketawanya sedikit. "Kalau Om lagi main di panggung teater, Oom terkenal punya penjiwaan yang bukan maen. Semua peran om libas, tapi rata-rata peran anak muda yang jagoan, Oom yang pegang. Saking hebatnya om maen teater, sering sekali om diundang untuk maen di teater TVRI, dan hampir semua sandiwara di tipi, ada om main di situ.”

"Sampai semua sandiwara, Oom?"

"Nggak semua, tapi hampir semuanya Oom main di situ ...?" Mata Oom Tustel melirik pada rokok saya, saya sodorkan. "Ya, dan yang Oom rasa, kalau misalnya ada tipi bikin sandiwara tapi nggak ada Oom di situ, dijamin nggak banyak yang nonton...."

“Dan nggak cuma akting, Om juga gape kalo sambil nyanyi..." Oom Tustel mulai menerawang, pelan dia hisap rokok pemberian saya. "Kadang Om juga lepas kontrol, maen nggak pake naskah. Pas lagi di tengah adegan sandiwara, tiba-tiba aja Om nyanyi.”

Bersambung ke bagian kedua dengan judul: “Kejayaan Itu Telah Berlalu (Kisah Seorang Fotografer Kawakan Yang Tak Lagi Laku!) – Tulisan Bagian Kedua”, semoga Sobat bisa banyak senang saat membacanya.