Kemayoran, Jakarta, 16 Juli 2018
Fotografer itu bukan seniman???
(Obrolan dengan 5 botol air putih, 3 gelas kecil kopi mix, 8 gelas besar kopi hitam dan asap rokok)
Artikel ini diupload dalam dua babak, dan ini adalah babak pertama, mohon jangan bosan!
Tak banyak orang tahu apa artinya ‘fotografer’, dan tak banyak juga orang tahu apa artinya ‘seniman’, cuma sebagian saja yang mengerti arti kedua kata itu sebenarnya. Tapi, semua orang tahu apa artinya ‘kopi’ dan apa artinya ‘rokok’. Tapi sobat, artikel ini ini bukan untuk menerangkan apa arti kata-kata di atas; ‘fotografer,seniman, kopi, dan rokok’. Bukan sob, sama sekali tak ada keinginan untuk saya menerangkan itu semua. Saya hanya ingin menceritakan satu peristiwa, dimana saya, secara sangat ‘aneh bin ajaib’, kecemplung dalam situasi, dimana kata-kata yang ‘magis’ itu bisa muncul secara harafiah, dan intens.
Itu terjadi pada di hari Kamis tanggal 21 bulan Juni tahun 2018, selepas siang, di lokasi yang namanya Jakarta Fair. Lokasi dimana saya juga bekerja di sana, walau tak terlibat secara langsung. Entah kenapa, hari itu saya merasa jenuh level dewa. Saya jenuh, karena saya harus bekerja, sementara banyak buruh seperti saya, yang asyik kumpul-kumpul dengan keluarga, menikmati libur. Ketawa-ketiwi, cerita-ceriti dan pasti, ada sebagian yang sambil sedot cerutu.
Sementara saya????
Saya malah harus duduk manis di kantor, di bawah sinar lampu TL yang sinarnya menciptakan suasana “harus kerja, kerja, dan kerja!” Ditambah dengan koneksi internet di kantor, yang biasanya lambat, sekarang malah turun ‘perseneling’ dan pindah ke percepatan paling rendah…alias….”mode siput….ON!”
Hadehhhh…..!!
Ya sudahlah, daripada isi kepala ini dilanda jenuh terus menerus, lebih baik saya habiskan waktu melihat-lihat Jakarta Fair yang sudah mulai ramai, siapa tahu, ditengah “kepanikan” pengunjung yang berbelanja, otak saya bisa jadi enteng, dan segala macam dedemit dan jin iprit yang membuat suasana hati jadi jenuh, bisa minggat cepat-cepat! Atau siapa tahu, ada bidadari yang “kepleset” dari khayangan, dan terperosok di salah satu stand yang ada di situ, jadi bisa saya jepret dan saya upload di istagram saya….Semoga!
Ambil nafas sebentar, siapkan kamera, masukkan ke dalam tas, pakai jaket, pakai topi, langsung jalan ke TKP yang memang lokasinya tak jauh dari kantor dimana saya ber”singgasana”.
Tak sampai dua menit jalan kaki, sampailah saya di “The Jakarta Fair” yang kesohor itu. Bukan main ramainya! Segala macam bentuk manusia seakan “tumplek blek” di sini.
Ada yang model “maniak belanja”, dengan berbagai macam jinjingan menggantung di tangan, lengan, bahkan sampai leher! Wuihhhh…!! Ada juga yang model “Miss Universe”, dengan dandanan yang super “bling-bling” yang mungkin memantulkan 95 persen cahaya matahari, bikin silau mata orang yang berpapasan dengan “mahluk ini”, dan langsung buta sesaat, terus kejedot tiang stand yang emang jumlahnya banyak…….Atau minimal, tabrakan dengan pengunjung lain! Hehehehe…
Ada juga orang tua yang panik karena anaknya hilang di tengah keramaian, atau anak yang kehilangan orang tuanya, terus panik dan nangis melolong-lolong, walaupun, biasanya tak lama kemudian, si orang tua datang menjemput dengan tampang yang tak kalah paniknya!....
Wah….pokoknya, bermacam suasana ada di sini!
Dan yang model fotografer, ternyata juga banyak banget, bejibun malah! Dengan segala atribut “perang” super dahsyat dan terkini! Dari tripod yang harganya setara dengan kamera saya, dan kamera yang harganya setara dengan gaji saya setahun.....hahahahaha.... Jadi bikin ciut nyali saya, yang statusnya masih “fotografer” pemula yang abal-abal, yang gearnya hanya sebatas kamera DSLR “Low Cost” tanpa embel-embel blitz ataupun tripod dan sebagainya. Wahhhh!!! Sempet saya merasa minder kala saya memotret “bidadari-bidadari” stand yang memang banyak di tempat ini! Untunglah, rupanya banyak juga fotografer yang ternyata satu kasta dengan saya, jadi tak terlalu minder deh. Minimal, agak saru sedikit dan tak terlalu mencolok mata!
Ya sudah, saya putuskan untuk terus hunting potret, keliling-keliling, sambil jepret sana, jepret sini. Setiap “target” yang menarik, langsung saya jepret tanpa malu-malu. Mulai dari SPG yang make-up nya meleleh karena puanasnya mentereng abis, atau SPG yang dengan semangat menggebu-gebu berteriak kepada setiap orang yang lewat..’minumnya kakak! Murah, lima ribu dua kakak….Ayo dibeli kakak’, atau teriak ‘rokoknya kakak! Dapat gratis korek dan hadiah door prizenya kakak’....dan macam-macam teriakan lainnya, yang intinya, setengah memaksa pengunjung untuk membeli produknya.
Atau memotret orang-orang yang sedang duduk, ketawa, bengong, sampai pada emak-emak yang tampangnya super panik karena bingung harus belanja apa lagi. Pokoknya, apa yang buat saya menarik, semua saya jepret!
Setelah betis ini mulai kaku dan keras macam pokok kayu, saya putuskan untuk mampir ke stand kopi yang memang banyak di sini. Duduk manis, pesan kopi segelas, kopi datang, seruput sedikit, sundut rokok, dan mulai menikmati asap rokok dan kopi, sambil melihat perolehan jepretan saya dan sesekali menikmati suasana “hiruk pikuk” yang semakin “luar biasa” menjelang malam.
Tak lama setelah itu, masuklah sekelompok anak muda, dengan perlengkapan fotografi yang juga sangat “lengkap bin mahal” dan mereka duduk di samping saya. Sama seperti saya, rupanya mereka habis jepret sana-sini dan memutuskan untuk beristirahat, sambil melihat-lihat hasil perolehan foto mereka. Awalnya saya tak terlalu peduli, tetapi, karena volume suara obrolan mereka dipasang mentok pol dan lumayan keras dan kebetulan juga mereka duduk di samping saya, alhasil, mau tak mau, saya jadi curi-curi dengar obrolan mereka,
‘bro, yang SPG di motor K*M udah lu foto bro?’ (sengaja saya sensor nama merk yang diomongkan mereka, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan....hehehehe) tanya salah satu dari mereka yang punya potongan model artis korea,
‘Udah dong, bukan cuma foto doang, WA nya juga gw dapet bray’ jawab temannya yang punya style fotografer, sambil ketawa ngakak, ‘pokoknya, bisa langsung di follow up deh!’, timpalnya lagi.
(sampai disini, kopi saya sudah habis, tetapi, karena pembicaraanya kelihatannya menjurus ke arah yang “menarik”, saya pesan lagi kopi, satu gelas kopi lagi, supaya cukup alasan untuk saya dapat duduk berlama-lama di sini dan meneruskan curi-curi dengar lagi!)
‘Mantab bray, tapi, sialan juga lu, gw juga udah incer itu SPG, malah elu yang nyamber duluan’ sahut salah satu teman yang duduk paling pinggir, sambil asyik melihat layar LCD kameranya. ‘Itu cewe pasti tertarik ame lu, soalnya lu disangka seniman ame tu cewe’, imbuhnya lagi.
‘Seniman? Sorry bray, gw fotografer, bukan seniman, elu itu yang seniman ga jelas’ balas si fotografer dengan nada sedikit sengit, ‘liat kamera gw lah, mana ada seniman pake kamera kaya gini?’ sambungnya lagi, seakan masih tak terima dengan tuduhan dari temannya, yang men”cap” nya sebagai seniman.
Kaget juga saya dengar kata-kata itu, saking kagetnya, saya teguk kopi macam saya teguk air putih, langsung habis, tandas! Dengan sangat terpaksa, saya pesan lagi kopi dalam porsi besar, supaya saya bisa berlama-lama untuk kembali curi-curi dengar topik yang semakin menarik ini.
Si “Fotografer” tadi lalu menyambung kalimatnya, sambil sedikit memberi nasehat kepada kawan-kawannya. “Kalau mau serius di fotografi, jangan tanggung-tanggung, beli kamera yang bagus sekalian, kaya kamera gw yang ini, kualitasnya bagus, harganya juga lumayan murah, Cuma dua puluh lima juta, tambah lensa yang prime punya yang harganya lima belas juta, dijamin, hasil foto lu bakal keren!”
“Lah, murah juga harganya, Cuma dua puluh lima juta,” timpal kawannya dengan mimik wajah setengah serius, sekedar menyambut omongan saja.
Buset dah, saya jadi kepengen marah, masa dua puluh lima juta dianggap lumayan murah?
“Kalo emang niat jadi fotografer, lu harusnya beli Ca*on EOS 5D yang mark IV dong, tambah gear dan tripod, paling sekitar enam puluh lima juta,” sahut temannya yang kurus jangkung sambil nyeruput kopinya....sedikit sekali.
“Tadinya gw mau ambil yang 1D X Mark II,” sambung si”fotografer” tadi, “Cuma lensanya masih indent, jadi gw alihin ke kamera ini, padahal gw udah siapin budget delapan puluh juta, gw males kalo kelamaan nunggu,” sambil ketawa lepas.
“Lho, bukannya kamera lu dulu itu ni*on D7200,” teman yang model korea itu balik tanya ke si “fotografer”
“Ah, kamera jelek tuh, apaan, susah banget buat fokusnya, gw cuma pake sebulan doang, abis itu gw lego ke kawan gw, dia cuma berani bayarin lima juta, ya gw lepas aja,”
“Gebleg lu, itu kamera harganya lima belas juta, kenapa lu lepas Cuma lima juta?” sambung si Korea dengan intonasi kaget beneran.
“itu kamera ga oke bos kyu, lu ga bakal dapet foto bagus pake kamera itu, mending lu pake yang mahal sekalian, tapi hasilnya bagus, daripada lu pake yang murah kaya kamera gw tadi. Kalo mau jadi fotografer, jangan nanggung-nanggung mas bro, kecuali lu mau jadi seniman, boleh aja lu pake kamera ebreg alias kacrut, tapi kalo lu mau jadi fotografer, ya lu kudu all out bos, pake gear yang emang bisa lu andelin, jangan yang abal-abal!” Sambung si fotografer dengan nada sedikit menggurui.
“Emang seniman itu apaan sih cuy?,” tanya perempuan yang duduk persis di depan sang “fotografer”, yang sedari awal kayanya lebih banyak foto selfie ketimbang bernafas…hehehehe…rupanya ini cewek lebih mencintai tampangnya sendiri daripada apapun di dunia ini.
Sampai disini, saya harus pesan kopi lagi, tanpa terasa, sudah lima gelas kopi saya minum, dan rokok yang saya hisap ini, adalah batang pertama dari bungkus kedua, karena tanpa terasa, satu bungkus rokok sudah beres....Habis!
Si fotografer kelihatannya shock berat dengan pertanyaan temannya yang hobby selfie tadi, tapi layaknya seorang yang memang “maestro” dalam hal-hal tertentu (maksudnya, maestro dalam membual dan ngebohong), pertanyaan seperti ini pasti bukan hal yang berat untuknya.
“Seniman itu, ya seniman, masa lu kagak paham,” jawab si fotografer dengan nada enteng dan sambil nyeruput kopinya dengan santai, (sampai disini, saya merasa sangat “kagum” dengan “gerombolan” fotografer ini, bukan cuma karena pembicaraannya atau peralatan fotografinya, ataupun gaya mereka, tetapi “kagum” saya timbul, karena mereka bisa betah duduk dua jam lebih, dengan hanya minum segelas kopi saja tiap-tiap orang, itu pun masih sisa setengah, alias tak habis-habis…hehehehe)
“Ah…..Katro, kaga bisa jawab kan lu, seniman itu apaan emangnya? Kok lu bisa bilang kalo fotografer itu bukan seniman?” cecar si cewek selfie itu sambil terus ber”selfie” ria, mungkin sudah ratusan foto selfienya saat itu.
“Ya, kalo fotografer itu kan udah jelas, kaya gw, punya foto-foto bagus, punya gear bagus, itu namanya fotografer,” jawab si “fotografer” sambil menyeruput lagi kopinya….benar-benar sedikit sekali nyeruputnya!
Melihat si fotografer itu menyeruput kopi lagi, saya jadi terbawa suasana, dan ikutan menyeruput kopi….Astaga! Kopi saya habis! Ini sudah gelas ke enam, padahal kopi saya itu gelas besar! Duh, terpaksa saya pesan lagi kopi, kali ini saya pesan dua gelas besar, supaya tak bolak-balik ke meja kasir untuk pesan kopi, takut bangku saya yang sangat “berharga” itu hilang, ditempati oleh orang lain! Bisa hilang kesempatan saya curi-curi dengar pembicaraan yang sangat “super” itu.
Tetapi, rupanya, setelah saya pesan kopi, dan hendak kembali ke tempat duduk saya tadi, tempat saya itu sudah ditempati oleh sepasang anak manusia yang sepertinya sepasang kekasih, kelihatan sekali dari cara mereka berbicara dan memandang satu sama lain. Ada yang berbeda, ada satu kedekatan yang sulit untuk dijelaskan, tetapi sangat mudah dimengerti bila kita melihatnya.
Saya tak enak hati kalau harus mengusir mereka, atau mengintimidasi mereka supaya cepat-cepat pergi meninggalkan kursi itu. Jadi saya putuskan untuk pindah posisi, duduk di tepi teras kedai kopi itu, sambil menikmati gelas ke tujuh dan ke delapan yang sudah ada di tangan saya ini. Kebetulan sekali teras ini ada di lantai dua bangunan kedai, jadi, pemandangan lalu-lalang pengunjung Jakarta Fair, bisa leluasa saya nikmati.