Ciledug, Tangerang, Banten, Sabtu, 24 Maret 2016
Artikel kali ini adalah tentang salah satu spot fotografi di Jakarta (tepatnya di daerah Kota Tua), yang juga sekaligus tempat yang sangat bersejarah....."Toko Merah".
Kalo sohib-sohib sering mampir pakansi atawe jalan-jalan ke daerah kota tua, udah pasti pernah ngeliat bangunan ini!
Yup, sebuah bangunan yang punya arsitektur lumayan unik, terletak di jalan Kali besar barat dan punya cat eksterior yang "ngejreng" alias menyala-nyala!
Dan bangunan ini sering banget dijadiin lokasi untuk foto, karena selain unik, juga tempatnya ga terlalu jauh dari pusat kota.
Tapi, siapa nyana, ternyata bangunan ini punya sejarah kelam di suatu masa di "Tempo Doeloe" (setidaknya menurut beberapa versi!), berikut beberapa versi sejarah bangunan toko merah menurut berbagai sumber:
1. Versi dari Wikipedia (Untuk versi obyektif, yang mengesampingkan sisi kelam dari versi lain)
Toko Merah dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaaf Willem baron van Imhoff diatas tanah seluas 2.471 meter persegi. Rumah tersebut dibangun sedemikian rupa, sehingga besar, megah dan nyaman. Nama "Toko Merah" berdasarkan salah satu fungsinya yakni sebagai sebuah toko milik warga Cina, Oey Liauw Kong sejak pertengahan abad ke-19 untuk jangka waktu yang cukup lama. Nama tersebut juga didasarkan pada warna tembok depan bangunan yang bercat merah hati langsung pada permukaan batu bata yang tidak diplester. Warna merah hati juga nampak pada interior dari bangunan tersebut yang sebagian besar berwarna merah dengan ukiran-ukirannya yang juga berwama merah. Di samping itu dalam akte tanah No. 957, No. 958 tanggal 13 Juli 1920 disebutkan bahwa persil-persil tersebut milik NV Bouwmaatschapij "Toko Merah".
Selain van Imhoff, bangunan ini juga menjadi kediaman beberapa Gubernur-Jenderal seperti Jacob Mossel (1750–1761), Petrus Albertus van der Parra (1761–1775), Reinier de Klerk (1777–1780), Nicolaas Hartingh, dan Baron von Hohendorff.
Pada tahun 1743-1755 dijadikan Kampus dan Asrama Académie de Marine (akademi angkatan laut), kemudian pada tahun 1786-1808 digunakan untuk Heerenlogement atau hotel para pejabat. Tahun 1809-1813 seluruh bangunan dijadikan rumah tinggal oleh Anthony Nacare. Kurun waktu 1813-1851 kepemilikan beberapa kali berganti hingga kemudian dimiliki oleh Oey Liauw Kong yang berfungsi sebagai taka, sehingga populer dengan sebutan "Taka Merah".
Tahun 1920 dibeli dan dipugar oleh NV Bouw Maatschappij "Toko Merah" yang menelan biaya satu juta gulden. Bangunan ini diperbaiki lagi oleh Bank Voor Indie yang kemudian berkantor di sini hingga tahun 1925. Kemudian ditempati oleh sejumlah Biro dan Kantor Dagang: Algemene Landbouws Syndicaat, De Semarangse Zee en Brandassuransi Mij, dan WM Muller. & Co. Tahun 1934-1942 menjadi Kantor Pusat N.V. Jacobson vanl den Berg salah satu perusahaan "The Big Five" milik Kolonial Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang menjadi Gedung Dinas Kesehatan Tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Toko Merah berubah melewati fase-fase perubahan pindah tangan pemilik kantor yang salah satunya adalah PT. Satya Niaga pada tahun 1964. Selanjutnya pada tahun 1977 berubah menjadi PT Dharma Niaga (Ltd) dan gedung tersebut tetap digunakan sebagai kantor. Pada tahun 1990an, Toko Merah dijadikan Bangunan Cagar Budaya berdasarkan UU No. 5 Tahun 1992 dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tanggal 29 Maret Tahun 1993. Setelah sekian lama terabaikan, Akhirnya Toko Merah direstorasi pada tahun 2012 dan sekarang Toko Merah menjelma menjadi 'function hall' yang dapat dijadikan sebagai tempat konferensi dan pameran.
2. Versi dari Alwi Shahab (Seorang wartawan senior, sekaligus pemerhati sejarah. Artikel ini dimuat di harian Republika, Minggu, 05 Maret 2006)
Di Jl Kalibesar Barat, Jakarta Kota, yang di masa VOC merupakan pusat kota Batavia, terdapat sebuah gedung yang hampir seluruh bagian depannya berwarna merah. Toko Merah, nama gedung itu, terletak berdekatan dengan stadhuis (Balaikota Batavia), kini masih tetap berdiri kokoh meskipun telah berusia tiga abad. Sejumlah gubernur jenderal VOC pernah mendiami gedung ini, yang kala itu terletak di tengah kota Batavia berbenteng.
Gustaff Baron van Imhoff membangun gedung berlantai dua itu pada 1730, jauh sebelum ia diangkat menjadi gubernur jenderal di Srilangka, yang kala itu jajahan Belanda. Begitu bersejarahnya gedung tersebut, hingga ia banyak didatangi para wisatawan asing, maupun para pecinta gedung tua.
Gedung itu, dalam keberadaan yang cukup lama, telah menyaksikan berbagai peristiwa penting, yang dialami kota Batavia. Setidak-tidaknya di depan gedung yang mengalir sungai Groote Rivier (Kali Besar) itu pernah terjadi suatu kerusuhan besar ketika terjadi pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa itu terjadi 10 tahun setelah gedung tersebut berdiri (1740). Di muara Ciliwung ini, yang kala itu airnya jernih, pada pagi dan sore, menjadi tempat mandi para Indo-Belanda. Sementara di malam terang bulan, para muda-mudi, sambil main gitar, bernyanyi menumpahkan isi hati mereka.
Setelah peristiwa berdarah pembantaian warga Tionghoa, Van Imhoff yang kelahiran Jerman, kemudian diangkat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda (1743-1750). Di gedung yang kini dikenal sebagai Toko Merah itu ia juga mendirikan Akademi Maritim (Academiede Marine). Akademi ini diresmikan 7 Desember 1743. Selain sebagai kampus, gedung itu juga menjadi asrama para kadet.
Untuk dapat diterima jadi kadet harus memenuhi persyaratan yang cukup ketat. Calon harus lahir dari hasil perkawinan yang sah. Maklum, kala itu, banyak warga Belanda yang mengawini para nyai, yang anak-anaknya disebut Indo-Belanda. Syarat lainnya ialah berumur 12-14 tahun, beragama Kristen Protestan (kala itu tempat peridabatan Katolik tidak dibenarkan di Batavia). Masa pendidikan 4 tahun dan tiap angkatan dibatasi 24 orang.
Seperti ditulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah, selama pendidikan para kadet menjalani disiplin sangat ketat. Mereka yang melanggar disiplin mendapat hukuman di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Sedang kadet yang ketahuan membaca buku terlarang (porno), dan bermain kartu, dikurung selama empat hari dengan kaki terendam dalam air dan hanya boleh mendapatkan nasi tanpa sayur dan lauk pauk.
Van Imhoff tercatat sebagai gubernur jenderal pertama yang mengunjungi keraton Mataram di Kartasura. Campur tangan van Imhoff tidak hanya terhadap Mataram, tapi juga kesultanan Banten. Ketika Sultan Zaenul Arifin memerintah (1744-1747), ia diberitahu menderita gangguan jiwa. Van Imhoff kemudian mendukung salah seorang istri Sultan, Ratu Syarifah Fatimah, seorang wanita keturunan Arab. Atas dukungan Van Imhoff, Syarifah dapat menggeser Sultan dan menaikkan keponakannya (Syarif Abdullah) sebagai sultan Banten. Sedangkan Sultan Arifin dibuang ke Ambon. Politik divide et empera (pecah belah) van Imhoff, karuan saja menimbulkan kemarahan rakyat Banten. Dipimpin Kyai Tapa, mereka memberontak terhadap VOC.
Setelah van Imhoff meninggal (1750), penggantinya, Yacob Mossel, mengembalikan kekuasaan Sultan Arifin. Sedangkan Syarifah dan Syarif Abdullah ditangkap dan ditahan di Pulau Edam, Kepulauan Seribu. Menurut rencana, kedua keturunan Arab itu akan ditahan di Saparua (Maluku). Namun Syarifah lebih dulu meninggal dunia dan dimakamkan di Pulau Edam. Sedangkan ponakannya di buang ke Banda dan hidup mewah di sana atas biaya VOC selama 39 tahun.
Hingga kini banyak orang mendatangi makamnya di kepulauan Seribu, terutama untuk meminta nomor buntut. Tempat pertemuan antara van Imhoff dan Syarifah Fatimah saat hendak menggulingkan suaminya, Sultan Banten, terletak di Tanjung Oost (kini Tanjung Timur), depan Markas Rindam Condet, Jakarta Timur. Kala itu, tempat tersebut merupakan rumah peristirahatan yang sangat mewah. Kini ditempati oleh keluarga kepolisian.
Selama pemerintahannya, van Imhoff juga membangun Istana Buitenzorg Lepas dari Kesibukan pada 1745 yang kini lebih dikenal dengan Istana Bogor. Istana ini kemudian dipugar oleh para gubernur penggantinya hingga bentuknya sekarang ini. Kala itu, van Imhoff sudah memelihara kijang di halaman istana. Presiden Soekarno termasuk Kepala Negara yang paling sering tinggal di Istana Bogor. Bahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 dikeluarkan di sini. Dengan Supersemar itulah, Pak Harto kemudian membubarkan PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya.
Toko Merah, menurut Thomas B Ataladjar, pernah digunakan sebagai kantor Jacobson van den Berg, sebuah perusahaan multinasional milik Belanda. Pada 1957, ketika hubungan RI-Belanda memburuk, Jacobsonvan den Berg dan semua perusahaan milik Belanda diambil alih. Sementara ribuan warga Belanda dan Indo Belanda meninggalkan Indonesia.
Toko Merah juga merupakan saksi sejarah betapa menyedihkan nasib para budak di Batavia kala itu. Mereka dijualbelikan dan diperlakukan seperti binatang. Di tempat ini pernah dilelang sebanyak 162 budak belian.
Demikian ya sob, Dua versi tentang sejarah Toko Merah, Semoga dapat bermanfaat....(semoga lho ya!, kalau nggak, ya udah...baca aja!)
#Fotografi #Fotografer #FG #Momod #kamera #Tips #Trik #Tips Fotografi #Trik Fotografi #Teknik Fotografi #Seni Fotografi #Aliran Fotografi #Genre Fotografi #Still Life Fotografi #Rule of third #Photo #Photography #Foto #BW #Model foto #Potret # Aliran fotografi #Bangunan bersejarah #Bangunan bersejarah di Jakarta Batavia #Food Photography #Foto hitam-putih #fotografer #Fotografi #Fotografi Abstrak #Fotografi Arsitektur #Fotografi Komersial #fotografi makanan #Fotografi Wajah #Gallery #Human Interest Photography #Jakarta #Jalan-jalan #Karya Foto #Sejarah Batavia #serba-serbi #Spot Fotografi #Street Photography #Teknik fotografi #Video Fotografi #Selfie #Toys Fotografi #Wedding Photography #Underwater Photography #Macro Photography #HUMAN INTEREST PHOTOGRAPHY #Lensa #Lensa Kamera #Kamera #DSLR #Mirrorless #Analog #Tripod #Kamera HP #Foto model #Komunitas fotografi #Sesi foto #Trik & Tips Fotografi #Aturan segitiga #Aturan segi empat #photoshop #Tallent #MUA