Kemayoran, Jakarta, Senin, Mei - Juni 2018
(sengaja saya tidak menulis tanggal, karena ini adalah artikel yang terlambat saya upload, mohon dimaafkan-pen)
Bulan Mei-Juni tahun 2018 ini, mungkin jadi bulan berkah tersendiri bagi sebagian orang (seperti saya, heheheheh).
Berkah?....Kok bisa? Kenapa?
Ya berkah lah! Coba sobat jepret lihat kalender, bulan Mei-Juni 2018 tidak mulus hitam atau biru semua, tapi celemongan, alias banyak tanggal merahnya.....Horeeee!!!!!
Ya....Horeeee! Soalnya, banyak hari libur, berarti banyak waktu luang untuk menjalani hobby sobat masing-masing. Yang hobby mancing, bisa langsung nyiapin joran dan umpan, yang hobby tidur, bisa langsung disiapin selimut plus bantal, dan yang hobby bengong.....ya udah...bengong aja!
Nah, khusus untuk saya, banyak libur, berarti banyak waktu untuk menjalani kegiatan yang untuk saya, sangatlah menyenangkan! Motret dan juga menulis, wah.....sudah terbayang kenikmatan di depan mata, menjalani kegiatan tersebut, ditemani oleh dua rekan karib saya, "mbak" kopi dan "mas" rokok!
Pemusik Tradisional Korea Stand Makanan Korea-Jakarta Fair 2018 |
Memang sob, akhir-akhir ini, saya semakin menikmati kedua kegiatan tersebut, ditengah hingar-bingar keramaian akibat dari iklim atau suhu politik saat ini, yang masih diperparah dengan nilai tukar Rupiah yang terus menerus "mengalah" terhadap Dollar, yang efeknya juga ngawur...sampe harga cabai juga ikut naik! Hingar bingarnya kondisi, yang disadari atau tidak, mulai mempengaruhi perilaku setiap orang dan ikut-ikutan menjadi "heboh" dan panik dadakan plus extra latah.
Benar sob, saya jadi semakin menikmati dua kegiatan ini, menulis dan memotret.
Tiga anak bermain di dekat alat berat Bintaro-Jakarta 2016 |
Dan artikel kali ini, sengaja saya tulis untuk menanggapi pertanyaan dari kawan, tentang aliran fotografi yang akhir-akhir ini saya "gila-gilai". Pertanyaannya begini:
"Bro, kok sekarang lu hobby nyetreet sih? (maksudnya hobby motret dengan tema street Photography-pen), udah ga mau lagi moto model?"
Dan sayangnya, saya tak sempat menjawab pertanyaan sobat saya itu, entah karena apa...Mungkin sibuk, mungkin lupa, atau mungkin juga karena tak ada kuota (nah, kayanya yang ini bener nih, tak ada kuota!).
Dua Sahabat di warung kopi Kebayoran lama-Jakarta 2017 |
Dan karena itu pula, artikel kali ini akan saya "persembahkan" sebagai jawaban dari pertanyaan sobat saya itu, (sekaligus menebus perasaan bersalah karena tak jua menjawab pertanyaan dia!)
Iya, memang akhir-akhir ini, saya cenderung untuk menyukai "Street Photography". Bukan tanpa sebab, saya menyukai Street, bagi saya pribadi, Street Photography memberikan saya kebebasan penuh dalam hal waktu, tempat, background, dan lain-lain. Juga memberikan keleluasaan untuk memilih tema dari foto yang saya ambil. Saya tak harus memikirkan dan mempersiapkan tema foto jauh-jauh hari, semuanya sifatnya spontan, tidak kaku, tidak "monoton". Itu kalau saya beralasan dari perspektif dari sisi waktu dan keistimewaan, dan sangat cocok untuk saya, yang jelas-jelas "bukan fotografer".
Lalu, dimana letak "kenikmatan gaya lain" dari Street fotografi itu sebenarnya?
Ternyata, jawabannya sangat sederhana: "Keakraban dengan sang obyek foto!"
Bener sob, ternyata selama ini, saya terlanjur mematok standar tertentu untuk fotografi jalanan, haruslah candid 100%, alias foto sembunyi, sembunyi, tanpa diketahui oleh si obyek foto. Tetapi, ternyata, aturan tersebut tidak dapat diterapkan "plek" untuk seluruh kasus.
Adakalanya, ketika saya berhasil menjalin komunikasi dengan si obyek foto, dan meminta supaya si obyek foto mau untuk saya foto (dengan sopan, halus, dan sedikit meng-iba2 tentunya!), foto yang saya hasilkan, ternyata memiliki keunikan lain. Ada suasana keakraban dalam foto itu, ada aura dimana saya merasa, saya berada dalam frame tersebut, dan ada kesan, seakan-akan, frame tersebut bukanlah satu frame dalam artian sebenarnya, melainkan lebih kepada “mata kepala” saya sendiri.
Dengan kata lain, ketika kita melihat foto yang dihasilkan dengan teknik ini, maka kita seakan-akan melihat kejadian dalam frame itu secara langsung, terlibat dan berinteraksi dengan si obyek foto secara nyata, secara “in person”.
Tentu saja, tidak selamanya, si obyek foto tersebut, mau untuk saya foto, bahkan beberapa kali, saya mengalami penolakan. Tetapi jumlah yang menolak ternyata sangat sedikit, lebih banyak yang bersedia untuk difoto dibanding dengan yang tidak. Dan satu hal lagi, mereka tersenyum! Sungguh sangat berlainan “nafasnya” dengan foto candid yang saya telah hasilkan selama ini.
Benar rupanya apa yang dikatakan oleh fotografer kondang “Deniek G. Sukarya” dalam bukunya “kumpulan tulisan fotografi”.
Beliau menulis, (saya kutip):
“Bagi saya, cara terbaik membuat foto-foto manusia, adalah dengan pendekatan pribadi yang tulus, melalui senyum, percakapan, dan interaksi lain untuk menciptakan keakraban dan rasa nyaman. Ketika merasa sudah diterima, barulah saya mengutarakan keinginan saya untuk membuat foto mereka.”
Begitulah sob, salah satu tips untuk memotret manusia.....” keakraban dengan sang obyek”!
Tak ada salahnya untuk diterapkan, walaupun, tidak melulu harus selalu seperti itu! Terkadang, candid juga diperlukan untuk moment-moment tertentu yang memang tidak memungkinkan untuk memotret secara langsung. Tetapi, ketika ada moment yang memungkinkan, maka trik pendekatan keakraban, patut dan wajib untuk dicoba.
Dan berikut ini, adalah beberapa foto yang saya ambil, dengan cara pendekatan keakraban seperti yang sudah saya tulis. Sengaja saya meminta mereka untuk berpose sesuai dengan keinginan mereka sendiri, dan mereka telah memberikan pose yang menurut saya, sangat nyaman untuk mereka.
Catatan: Untuk rekan saya yang telah melontarkan pertanyaan: "Bro, kok sekarang lu hobby nyetreet sih? (maksudnya hobby motret dengan tema street fotografi-pen), udah ga mau lagi moto model?"...Semoga tulisan saya dalam artikel ini bisa sedikit banyak menjawab pertanyaan sobat!
Sukses selalu sobat, dan salam jepret!
Bener tuh, kadang kalau bisa dekat dengan sang obyek...fotonya jadi lebih menarik!
BalasHapus