Senin, 16 Juli 2018

Fotografer itu bukan seniman??? (Tulisan bagian kedua)



Kemayoran, Jakarta, Senin, 16 Juli 2018

Fotografer itu bukan seniman???

(Obrolan dengan 5 botol air putih,  3 gelas kecil kopi mix, 8 gelas besar kopi hitam dan asap rokok)

Artikel dua babak, dan ini adalah babak kedua, kalau ada yang merasa bingung membacanya, silahkan baca dahulu babak pertama. Terima kasih karena sudah sudi membaca!


Luar biasa! Semakin malam, semakin ramai saja Jakarta Fair ini, sepertinya, ribuan orang memadati arena ini, dari yang sekedar jalan-jalan, sampai yang memang berniat belanja. Perhatian saya kembali terfokus pada gadis SPG yang menjajakan kopi, tepat di depan kedai kopi ini. Berseragam merah, sambil membawa buku bon dan juga rencengan kopi, gadis-gadis SPG itu tetap bersemangat menjajakan kopinya dengan setengah berteriak…”Kopinya kakak! Tiga ribu kakak! Ayo kakak, kopinya, ada door prize nya kakak, ada gamenya juga kakak, ayo kakak, silahkan kakak!”……


Benar benar luar biasa, semangat mereka sangat luar biasa, entah sudah berapa ribu kali mereka berteriak-teriak seperti itu, menjajakan produk mereka kepada pengunjung yang lewat. Lebih banyak yang menolak dibandingkan yang tertarik membeli, tetapi mereka tetap bersemangat dan tak kenal menyerah. Kalau orang yang mereka tawarkan itu menolak, mereka akan melontarkan kalimat yang sangat khas…”Terima kasih kakak!” atau ”Terima kasih om, tante, bunda!” dan lain sebagainya. Dan tanpa buang waktu, mereka akan langsung menawarkan kepada orang yang lain lagi, tetap dengan semangat yang sama, tetap dengan ke “khas” an yang sama, dan dengan kalimat rayuan yang sama….”Ayo kakak! Kopinya kakak! Murah kakak! Tiga ribu saja kakak!”, dan seterusnya.


Asyik juga saya memperhatikan solah mereka, tanpa sadar, saya terlupa pada keasyikan saya sebelumnya, tentang pembicaraan “seniman vs fotografer” tadi. Saya juga tak sadar, kalau ternyata, sudah hampir dua jam saya duduk di sini, dan saya juga tidak sadar, kalau saya sudah membiarkan dua gelas kopi yang saya beli tadi, masuk ke perut saya, dus, saya sudah pesan lagi dua gelas kopi gelas besar, dan keduanya juga sudah berlabuh dengan damai di perut saya. 

Cukup sudah! 

Saya harus pulang! Sudah sembilan gelas kopi masuk ke perut saya, sudah belasan batang rokok yang saya hisap, dan itu sudah lebih dari cukup!

Saya rapikan lagi kamera saya, sambil merapikan pakaian dan juga menebah abu rokok yang rupanya banyak betul bertebaran di badan, berdiri, dan berjalan menuju tangga untuk turun dan kemudian meninggalkan kedai kopi ini, lalu pulang! Ketika saya melewati posisi pertama saya, tampaknya dua kekasih itu sudah lama pergi, bangku itu sudah kosong, sudah bersih. Tetapi…….Buset dah! Gerombolan “fotografer” yang tadi saya curi-curi dengar rupanya masih ada di tempat yang sama, dan masih dengan gelas kopi yang sama……Dan belum habis juga!!!!! 

Gila! 

Hebat banget mereka! Sanggup duduk berjam-jam hanya dengan bermodalkan satu gelas kopi dengan harga tak lebih dari tiga ribu perak! 

Gila! 

Saya salut luar biasa pada mereka, jarang sekali…….tak pernah malah, saya bertemu dengan orang yang isi bicaranya belasan bahkan puluhan juta, tetapi hanya sanggup jajan kopi yang harganya cuma tiga ribu perak!

Mampus dah!................

Ilmu saya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka, ilmu dalam hal “pelit”isme dan “medit” isme tentunya.

Semangat saya yang tadinya berisi semangat untuk pulang, beralih ke semangat curi-curi dengar lagi! 


Supaya ada alasan saya untuk tetap duduk di bangku tadi, bangku dimana saya duduk di saat pertama tadi, saya dengan sangat terpaksa harus pesan kopi lagi! Hadehhhhh…..




Dan kembali saya duduk di sini, di tempat awal saya duduk di kedai kopi, dengan ditemani oleh dua gelas kopi ukuran jumbo di depan saya. Seruput sedikit kopinya, ambil sebatang rokok, sundut, lalu dengarkan lagi pembicaraan “gerombolan fotografer” yang kelihatannya, sedang ramai-ramainya, dan herannya, masih dalam topik yang sama…yaitu ”seniman vs fotografer”….!

“Jadi, menurut lu, fotografer itu bukan seniman?” rupanya gadis yang kecanduan selfie tadi, masih belum merasa mendapat jawaban yang pas dari sang “fotografer” mengenai definisi seniman dan fotografer.


“Jelas bukan lah!” Sahut si fotografer. “Seniman itu yang kaya lu lihat di emperan glodok atau di blok M, yang kerjanya ngelukis ngelukis yang ga jelas gitu, ngelukis orang, ngelukis bunga, atau paling apes, ngelukis pantatnya truck pasir!……… itu baru namanya seniman,” sambung di fotografer lagi dengan intonasi suara yang sangat yakin!

“Kalo fotografer itu kaya gue gini, motret model, pake kamera ciamik, itu baru namanya fotografer sejati!” sambungnya lagi, lalu si fotografer itu ketawa ngakak, dan tak lama kemudian, rekan-rekannya juga ikut-ikutan tertawa, entah apa yang mereka tertawakan, karena menurut saya, sama sekali tak ada yang lucu dari pembicaraan itu!

“Mana ada seniman yang bawa-bawa kamera? Seniman itu kerjanya ya kaya di kesenian gitu, bikin lukisan, nari, bikin pahatan, dan lain-lain. Dan rata-rata mereka kaya gelandangan alias nyentrik and kumel dan ga punya duit. Beda ama bos kyu ini, kalo bos kyu ini real fotografer, punya kamera puluhan juta, dan juga punya gear yang harganya juga puluhan juta,  jadi dia itu fotografer, beda jauh ama seniman, ngerti ga lu non?” Timpal teman si fotografer yang punya model macam boyband korea itu. Dan setelah kalimat itu, kembali mereka tertawa lepas, tertawa yang untuk saya, seperti suara alarm atau suara lonceng jam weker yang membangunkan kesadaran saya, kesadaran untuk segera pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan sekawanan “fotografer” dengan sejuta ceritanya yang tak jelas, juga sejuta ketawanya, dan meneruskan tujuan saya semula, yaitu pulang!

Kedai kopi itu sebenarnya masih lama tutupnya, jam sepuluh malam. Sama dengan event Jakarta Fair yang baru tutup jam sepuluh malam. Tetapi, saya tak sanggup lagi kalau harus tetap duduk di sana sampai dengan jam sepuluh malam. Seharian itu, perut saya hanya terisi dengan lima botol air putih, kopi mix 3 gelas kecil, dan kopi hitam 8 gelas besar, serta asap rokok. Bokong  saya panas, perut saya kembung, dan badan saya keluar keringat dingin. Ditambah lagi dengan pulang naik motor, badan yang sudah dingin ini, jadi makin ditambah dingin lagi oleh keringat yang diterpa angin.

Kalau ada orang yang bilang: “Aku tidak takut pada siapapun selama orang itu makan nasi,” maka orang tersebut harus takut pada saya. Seharian itu saya hanya mengisi perut saya dengan 8 gelas besar kopi, 3 gelas kecil kopi, dan asap rokok. Keesokan harinya, saya masuk angin, dan langsung mencret. 

Ternyata, hanya untuk tahu bedanya seniman dan fotografer, itu berat sekali. Apalagi kalau cara mencari tahunya itu salah, bukannya jadi paham dan mengerti, malah jadi masuk angin dan mencret.

Benar sob, ternyata, apa yang saya lakukan hari itu, bukanlah hal yang berguna. Ternyata, curi-curi dengar itu benar-benar pekerjaan yang sangat sia-sia. Tidak ada untungnya, apalagi ilmunya! Yang ada hanya anginnya saja!

Kesimpulannya…..Jangan curi-curi dengar, nanti bisa masuk angin! 

kalau mau paham, pergi baca buku, atau tanya ke seniman yang benar-benar seniman tulen, dan tanya ke fotografer yang benar-benar fotografer tulen tentang apa bedanya fotografer dengan seniman. 

Sekian dulu ya sob cerita saya ini, lain waktu akan saya sambung lagi dengan cerita lain yang lebih tidak berguna dari saya.

Oh ya, kalau sobat-sobit jepret tetap ingin tahu tentang definisi fotografer dan seniman, tentang Jakarta fair dan kedai kopi, silahkan baca catatan dibawah ini.

Dan untuk melengkapi penderitaan sobat-sobat jepret semua, akan saya sertakan beberapa foto yang saya ambil di event ini.









Catatan:

1. Jakarta Fair adalah salah satu event besar di Jakarta, tepatnya di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran. Biasanya berlangsung di medio Juni-Juli setiap tahunnya, berlangsung kurang lebih 40 hari. Didalamnya ada macam-macam stand dan juga event yang sangat menarik. Kedai kopi yang saya maksud, ada di dalam Jakarta Fair, dan harga 1 gelas kopi memang benar-benar tiga ribu perak.

2. Cerita ini memang benar-benar terjadi, namun tutur ceritanya terinspirasi pada kumpulan cerpen karya “Misbach Yusra Biran” dengan judul buku “Keajaiban di Pasar Senen”. Gaya bertutur cerita ini juga terpengaruh dan mengikut pada gaya bercerita buku itu, lebih spesifik, yaitu pada cerpen “Keajaiban di Pasar Senen” dan cerpen “13 Kopi Kecil dan Asap Rokok”.

3. Fotografer atau juru foto (bahasa Inggris: photographer) adalah orang-orang yang membuat gambar dengan cara menangkap cahaya dari subyek gambar dengan kamera maupun peralatan fotografi lainnya, dan umumnya memikirkan seni dan teknik untuk menghasilkan foto yang lebih bagus serta berusaha mengembangkan ilmunya. Banyak fotografer yang menggunakan kamera dan alatnya sebagai pekerjaan untuk mencari penghasilan, dan gambarnya akan dijual untuk cover majalah, cover calender, artikel, dll.

4. Seniman adalah istilah subyektif yang merujuk kepada seseorang yang kreatif, inovatif, atau mahir dalam bidang seni. Penggunaan yang paling kerap adalah untuk menyebut orang-orang yang menciptakan karya seni, seperti lukisan, patung, seni peran, seni tari, sastra, film dan musik. Seniman menggunakan imajinasi dan bakatnya untuk menciptakan karya dengan nilai estetik. Ahli sejarah seni dan kritikus seni mendefinisikan seniman sebagai seseorang yang menghasilkan seni dalam batas-batas yang diakui.

5. Secara singkat, Jakarta Fair adalah suatu event yang diselenggarakan di Jakarta, dengan tujuan untuk mempromosikan serta meramaikan ulang tahun Jakarta yang jatuh setiap tanggal 22 Juni. Dalam event ini, berbagai acara diadakan untuk memeriahkannya. Salah satunya adalah kembang api. Lebih lengkapnya tentang Jakarta fair, dapat disimak di link ini.


6. Kedai Kopi itu sebenarnya stand tempat menjual kopi dari merk tertentu. tetapi, karena ada tempat duduk dan mejanya, juga lengkap dengan kasir dan pelayannya, maka saya lebih suka menyebut tempat itu dengan "kedai kopi".

3 komentar:

  1. Saya malah jadi ingin baca Keajaiban di Pasar Senen. Bisa dapat di mana cerpennya? (Lho?) Tapi soal kategorisasi seniman memang tema yang nggak pernah mati. Soalnya, kata satu ini punya makna kamus dan makna emosional. Susah kan, kalau pihak-pihak yang ngomong nggak pakai frame yang sama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak atas apresiasinya ya mbak Dyah Yasmina.
      Mengenai kumpulan cerpen karya Misbach Yusra Biran yang judulnya; “Keajaiban di Pasar Senen”, saya rasa, itu sudah sulit di dapat saat ini mbak. Saya dapat beli itu buku, di obral buku gramedia. Harganya sepuluh ribu rupiah.
      Memang, gaya bertutur dari isbach Yusra Biran berbeda dengan penulis cerpen lainnya.
      Beliau menulis kumpulan cerpen itu di kisarn tahun 1950'an, dengan latar belakang kondisi peralihan di Jakarta.
      Kalau ada kesempatan, bolehlah kiranya kalau saya pinjamkan kumpulan cerpen itu kepada mbak.

      Oh ya, mengenai tanggapan mbak, tentang kategorisasi seniman, saya sangat sependapat dengan mbak....seribu persen sependapat dengan mbak. Memang tidak ada batasan yang baku tentang definisi "seniman" itu sendiri. Beda sudut pandang dan latar belakang, tentu beda pula pemahamannya tentang definisi ini. Mungkin, cara yang paling elegan adlah, semua pandangan itu benar, selama itu masih dalam koridor "seni".

      Hehehe......

      Oh ya mbak, saya sudah berkunjung ke blog mbak, isinya bagus-bagus, luar biasa....senang rasanya dapat berkenalan dengan penulis hebat seperti mbak.

      Hapus
  2. kopi dan rokok....abang seniman? 😂😂😂😂

    BalasHapus